Toni dan Dedi telah lama menganggur. Bekerja tidak, bisnis pun tidak. Pekerjaan mereka sehari-hari hanya mengobrol di pos ronda sambil main catur. Saat mereka sedang asik main catur, tiba-tiba ada seorang perempuan cantik lewat.
Toni langsung melihat perempuan itu dengan penuh kekaguman,
“Wow, cantik bener…. ” sambil terus melihatnya.
“Eh, jangan melihat terus, dosa tuch…” kata Dedi.
“Astaghfirullah”, kata Toni sambil langsung memalingkan wajah ke papan catur.
“Ton, kamu harus cepat menikah tuch… Usia kamu kan sebentar lagi sudah kepala tiga.” kata Dedi.
“Iya yah… biar mata saya tidak jelalatan lagi. Banyak dosa nich…” katanya sambil tersenyum.
“Ahamdulilah, kamu sadar. Takut dosa.” kata Dedi sambil tersenyum juga.
“Kamu sendiri?”, kata Toni balik menyerang.
“Saya sendiri kan tidak jelalatan kayak kamu.” kata Dedi menimpali dengan cepat.
“Tapi tetap saja harus segera menikah, itu kan saran Rasulullah saw bagi pemuda seusia kita. Masa harus puasa terus, sementara usia semakin hari semakin tua.”
Kondisi menjadi hening… mereka kembali melihat papan catur. Permainan menjadi hampa dan tidak menarik lagi. Selain karena mereka main catur setiap hari, pikiran mereka melayang kemana-mana. Mereke mulai terusik dengan nasib mereka sendiri.
“Iya yah, kita harus segera menikah, itu kan setengah agama. Tapi, siapa yang mau kepada kita yang pengangguran ini.” kata Toni memecah keheningan.
Tapi Dedi tidak memberikan respon. Matanya terus tertuju ke papan catur. Sepertinya dia sedang memikirkan langkah selanjutnya untuk mengalahkan Toni. Tapi….
Dia tiba-tiba bangkit dari tempat duduknya. Kemudian matanya dialihkan melihat jalanan yang ramai dengan lalu lalang kendaraan, orang berangkat kerja, dan pedagang. Tapi tatapannya kosong. Kemudian dia berkata,
“Waktu berjalan terus. Banyak yang harus kita lakukan, seperti menikah. Banyak yang kita inginkan, seperti mata pencaharian. Namun bagaimana semua itu bisa kita miliki jika kita tetap seperti ini? Kita tidak mungkin bisa mengubah nasib jika kita tidak bisa mengubah cara hidup kita.”
“Mungkin sudah nasib kita…” jawab Toni yang menyandarkan tubuhnya ke dinding pos ronda.
“Iya, ini memang nasib kita. Nasib yang kita bentuk dengan kebiasaan-kebiasaan yang kita lakukan selama ini. Bagaimana jika kebiasaan kita ubah? Dengan kebiasaan yang bermanfaat, produktif, atau menghasilkan uang?” kata Dedi.
“Iya… tapi apa?” sambil tetap bersandar.
“Saya juga belum tau.” jawab Dedi sambil membereskan papan catur. Sepertinya permainan catur sudah benar-benar tidak menarik lagi bagi mereka saat itu.
“Ah kamu…” ketus Toni.
“Untuk itulah kita cari tau.” jawab Dedi sambil melangkah pergi.
“Hei… mau kemana?” tanya Toni heran.
“Mau ke rumah paman saya, kali saja ada sesuatu yang bermanfaat yang bisa saya lakukan.” jawab Dedi sambil tetap melangkah.
“Saya juga mau, tunggu…” kata Toni sambil buru-buru menyusul temannya itu.
Posted by Mandiri dari Rumah
* membangun bisnis usaha mandiri * membangun bisnis usaha mandiri * membangun bisnis usaha mandiri * membangun bisnis usaha mandiri * membangun bisnis usaha mandiri * membangun bisnis usaha mandiri * membangun bisnis usaha mandiri *membangun bisnis usaha mandiri ** membangun bisnis usaha mandiri * membangun bisnis usaha mandiri * membangun bisnis usaha mandiri * membangun bisnis usaha mandiri * membangun bisnis usaha mandiri * membangun bisnis usaha mandiri *membangun bisnis usaha mandiri * membangun bisnis usaha mandiri * membangun bisnis usaha mandiri * membangun bisnis usaha mandiri * membangun bisnis usaha mandiri * membangun bisnis usaha mandiri ** membangun bisnis usaha mandiri *membangun bisnis usaha mandiri * membangun bisnis usaha mandiri * membangun bisnis usaha mandiri *
Description: Menghargai WaktuRating: 4.5
Reviewer: google.com
ItemReviewed: Menghargai Waktu